E. Perkembangan PR di Indonesia

E. Perkembangan PR di Indonesia 


Praktek PR di Indonesia di mulai saat kedua Proklamator Soekarno-Hatta mengumumkan kemerdekaan RI ke seluruh penjuru negeri dan juga ke luar negeri untuk memperoleh persetujuan/penerimaan, dukungan, simpati dan pengakuan dari masyarakat Indonesia serta dunia. Radio Republik Indonesia (RRI) yang sejak awal telah ikut pula menyiarkan kemerdekaan RI, Tahun 1950 menambah bagian Hubungan Masyarakat yang menerbitkan tiga majalah berkala untuk pegawai dan pendengar, membuat laporan pendengar, membacakan surat-surat dari luar negeri sampai pada pementasan yang bersifat off air bagi pendengar. Perusahaan berikutnya yang menyelenggarakan aktivitas Humas adalah Perusahaan Negara Garuda Indonesia Airways (GIA) . Diawali oleh penyerahan perusahaan KLM milik Belanda ke pihak Indonesia pada akhir 1950, maka KLM yang saat itu telah memiliki bagian Humas, kemudian aktivitasnya diteruskan oleh GIA. Perusahaan minyak asing (milik Belanda-Amerika ) Standar Vacuum Petroleum Maatschappij/SVPM (kini dikenal sebagai PT Stanvac Indonesia) yang akan beroperasi di Indonesia kemudian menggunakan komunikasi PR dalam melakukan pendekatan dengan pihak pemerintah Indonesia. Setelah berhasil Departemen PR di PT Stanvac dibentuk tahun 1952 dan B. Jilderda (berkebangsaan Belanda) menjadi Manajer PR pertama. Perusahaan minyak berikutnya yang menggunakan aktivitas PR adalah PT Caltex Pacific Indonesia (modal Amerika). PR Manajer pertamanya adalah R.H. Hopper dan juga mulai dipraktekkan tahun 1952. Berikutnya, aktivitas PR dilaksanakan di lembaga nasional lainnya pada akhir 1952. Lembaga pertama yang merintis adalah Kepolisian RI. Namun sampai tahun 1970-an perkembangan PR di Indonesia kurang menggembirakan. Akan tetapi di beberapa universitas seperti UGM Jogya, UI, Univ. Padjadjaran-Bandung dan kemudian diikuti pula oleh Universitas swasta seperti Moestopo, Ibnu Khaldun, Sekolah Tinggi Ilmu Publisistik (STP) mulai membuka jurusan Publisitik dan mencetak sarjana PR. Tahun 1959, Lembaga Administrasi Negara (LAN) melakukan penelitian dan menemukan dari 38 intansi pemerintah baru sembilan yang memiliki bagian Hubungan Masyarakat. Namun tugasnya belum maksimal, misalnya hanya membuat majalah pegawai, dokumentasi dan mengikuti perjalanan pejabat, melakukan tugas protokoler, pemberian informasi aktivitas lembaga kepada pers.

Sampai dengan tahun 1970-an pemahaman mengenai PR juga belum sepenuhnya diketahui. Hal ini menyebabkan timbulnya salah pengertian mengenai istilah PR itu sendiri, termasuk peranan, fungsi dan tugas PR yang belum dipahami dengan baik. HU Kompas tahun 1973 menyoroti fungsi PR masih dinilai negative oleh sebanyak 15 dari 30 PR yang ada, enam lainnya biasa saja, dan selebihnya mendekati sempurna. Penempatan PR di instansi tersebut menurut harian tersebut juga masih simpang siur, belum ada keseragaman tugas dan kedudukan. Pada pertengahan Februari tahun 1970, mulai tampak titik terang perkembangan PR yang lebih baik, dengan dibentuknya Direktorat Hubungan Masyarakat di Departemen Penerangan RI di bawah Direktorat Jenderal Penerangan . Setahun kemudian tepatnya 13 Maret 1971, dibentuk Badan Koordinasi Humas Pemerintah (BAKOHUMAS), kemudian disusul dengan terbentuknya Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (PERHUMAS) di tahun yang sama. Kemudian terus berkembang bagian Humas di perusahaan-Perusahaan lainnya, dan terbentuk pula organisasi seperti Biro Konsultan Humas, yang kemudian membentuk Asosiasi Perusahaan Public Relations . Saat ini kedudukan PR dalam organisasi sudah mulai membaik, khususnya di perusahaan-perusahaan swasta. Kedudukan mereka sudah strategis yakni berada pada level top manajemen, sehingga memiliki akses informasi yang luas. Dengan demikian, peranannya menjadi lebih penting dan termasuk sebagai pengambil keputusan yang berkaitan dengan bidang komunikasi PR.


Unknown

Tidak ada komentar:

Posting Komentar